Kami
Pramuka Indonesia
Manusia
Pancasila
Satya
ku kudharmakan
Dharma
ku kubaktikan
Agar
jaya Indonesia
Indonesia
Tanah
airku
Kami
jadi pandumu
Mungkin begitulah lirik Hymne Pramuka, ah sebelumnya
ingin kutulis sepenggal saja tapi ternyata masih teringat sampai segitu. Lagu yang
mampu menggetarkan hati, membawa ke kenangan belasan tahun yang lalu, di
sekolah dasar saat pesta siaga, pesta pramuka, pestanya anak-anak seumuran itu,
25 Desa di kecamatanku, tapi aku tak tahu berapa SD nya dan berapa grup yang
bertanding. Saat itu masih duduk di kelas 3, dimana hanya 2/3 orang yang
dipilih, barangkali Cuma dipilih, bukan terpilih, barangkali aku yang termuda
diantara mereka, barangkali juga yang terkecil dan terpendek, memang ini dulu bias
menjadi bahan, terlebih lagi lariku yang selalu telat dalam olahraga. Sebagai yang
termuda bukan berarti masuk sebagai tim cadangan, sebagai anak yang bergaya(eh
sekarang ndak punya gaya) aku tetap masuk dalam inti, tapi tidak terlalu
menonjol juga, asal ikut saja. Hal yang paling merepotkan bagiku adalah saat
pentas seni, atau setidak-tidaknya karnaval mini, aku selalu memiliki cerita
tersendiri dalam 3 edisi aku mengikuti pesta ini, edisi pertama, kelas 3
merupakan edisi terselamatkan, karena aku tidak punya kostum untuk ikut
karnaval mini, jadilah aku memegang barongsai mini, ah memang nasib, jadilah
aku si udin barongsai mini yang berjalan paling depan, setidak-tidaknya ‘tidak
ribet’. Tapi, barongsai mini, nggak keren banget ya, apalagi saat sesi foto
bersama masih tetap memakainya, huhu, hilanglah wajah saya dari sejarah. Sesi kedua,
kelas 4, tahun ini menampilkan seni di panggung, di lapangan bola yang luas di
kecamatan kami, di sinilah kami olahraga setiap Minggu, dimana dengan 3 sampai
5 pertandingan dilakukan secara bersamaan , di tempat yang sama. Tentu di atas
panggung dapat dilihat oleh banyak orang, setidak tidaknya orang tua beberapa
murid yang ingin melihat anaknya tampil di panggung, yang dari berbagai desa,
guru-guru sekolah dasar, teman-teman sendiri. Tahun ini, regu ku menampilkan
sebuah tari, menggunakan jaran kepang, dimana kostumnya adalah dengan celana ¾ berwarna
hitam dengan di luarnya diberi penutup kain atau semacamnya dengan pantas, ah
aku tak tahu namanya. Barangkali saat itu
aku tak mengikuti latihan saat-saat sesi akhir dari latihan kami yang 2
atau entah 3 bulan. Kami grup putra disuruh membawa celana hitam untuk dipakai
dalam pentas seni, tetapi dalam kenyataannya aku tak membawa, lalu tercetuslah
ide cemerlang dari guruku, yang mungkin tak pernah aku lupakan, barangkali
memang ini dalam keadaan darurat. Jadi saat itu ada salah satu temanku dari
grup putri memakai celana cewek, dan disuruhlah ia mencopotnya untuk kupakai,
sad moment.dan tampil lah di atas panggung dengan celana cewek -_-. Dan,
barangkali, ah sudahlah. Edisi ketiga, dimana kami anak kelas 5 sudah menjadi
salah satu yang senior, tapi dengan wajah dan posturku yang masih, hmm, ehm,
unyuk-unyuk, imut-imut, cailah, baru aja lo pake celana cewek woi tahun lalu. Tetap
terpilih, barangkali saat itu memang dibutuhkan, adik kelas kami kekurangan
anggota, setidak-tidaknya yang pantas. Hehehe, cerita pentas seni berlanjut
kembali, kali ini sebagai bagian dari yang senior aku tak dapat menghindar dari
salah satu pemakai kostum, ya tahun ini ada karnaval mini lagi, dimana dari
kami para peserta siaga, dan seperti yang sudah terjadi sebelumnya, menggunakan
pakaian adat tiap daerah, karena aku sudah tak bias menolak dan berdalih,
jadilah aku kebagian salah satu pakaian adat(sepertinya adat pernikahan), dan
dengan terpaksa merupakan pilihan terakhir, dapatlah aku pakaian adat Bali, ya
Bali. Sampailah aku di rumah, barangkali aku yang salah menjelaskan, dan akhirnya
tak membawa seperti yang termaksud, yang ingin ditampilkan adalah pada intinya
seperti kemben, tetapi yang sampai rumah “lho pakaian adat Bali kan yang
seperti baju koko itu, pakai aja baju koko”. Ya, pada akhirnya aku hanya
membawa baju koko dengan celana, seperti yang sudah-sudah, salah lagi, tapi
sebagai seorang senior, akhirnya dilayani doong, eh bukan, dengan terpaksa aku
diantarkan pulang ke rumah, ambil seadanya yang menurut imajinasiku sesuai, dan
jadilah korban jarik ibu serta sorban bapak yang merupakanhadiah dari orang,
tentu saja, telat, sang Juara memang tampilnya paling akhir cuy, Jagoan,
Jagoan pake sorban jadi kemben.
0 Comments