Goresan Pena Bobi

‘Denting piano
Kala jemari menari
Nada merambat pelan
Di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan
Bersama sebuah baying
Yang pernah terlupakan
Begitulah sepenggal lirik lagu dari Iwan Fals, Bobi bernyanyi mengikuti suaranya walau ia belum paham betul apa yang diinginkan dari pengarang tentang lirik lagu itu. Wajahnya sayu, satu hari ia tak melakukan apapun, hanya tergolek lemas di atas ranjang yang telah usang. Kulitnya pucat karena tak beranjak dari ruangan kamarnya. ia tertegun dan teringat akan masa lalunya yang menyenangkan dan segera mengerti bahwa hidup harus berjalan, baru beberapa hari lalu ia memberikan saran kehidupan kepada temannya.
Bobi mulai beranjak dari ranjangnya dan berdiri tapi kepalanya pusing dan ia terjatuh ke lantai, taka da yang mendengar dalam rumah itu karena tak ada orang di rumah.
“kemana orang rumah.”
Ia bergumam sendiri dan taka da yang menjawab, tak ada yang peduli, bahkan angina pun enggan berdesir.
Bobi mengalami depresi berat karena ketakutannya akan kegagalan kegagalan yang pernah ia alami. Ia hampir tak naik kelas tahun lalu, tapi untunglah ia masih memiliki sikap baik kepada guru sehingga masih dipertimbangkan untuk naik kelas dan nilai-nilainya sebenarnya tidak buruk-buruk amat hanya dalam beberapa minggu terakhir sebelum ujian akhir semester ia mulai sering bolos. Hari ini pun ia bolos taka da keterangan diberikan kepada sekolah walaupun ia sebenarny sakit, bisa dibilang ia hancur dari luar dan dari dalam dirinya sendiri, 2 hari sudah ia tak keluar kamar hanya makan mie instan persediaannya sebagai anak kos.
Ia menarik gagang pintu, membukanya dan pergi ke kamar mandi cuci muka untuk membasuh dari debu yang telah seharian hinggap di wajahnya.
“oeh, anak muda jam segini baru bangun” sapa Tito teman kosnya yang baru pulang sekolah sambil menenteng sepatu di kaki kirinya dan es teh dengan plastic di tangan kanannya, mirip perempuan, ribet.
“hmm, budak baru pulang sekolah.” Jawab Bobi tak menunjukkan ketertarikan.
“pemuda macam apa ini seharian hanya di kos belaka.” Sambil menyeruput es the nya.
“mau kau jadikan apa Indonesia ini.” Logatnya aneh yang memang dibuat-buat Tito sendiri.
“pemuda Indonesia bukan aku saja.” Jawab Bobi sengit.
“vioolaa, sini kau kukasih tau.” Setelah meletakkan sepatunya Tito masuk ke kamar Bobi.
“heh, kamar orang itu.” Bobi dengan nada kasar.
Tapi semua tahu itu hal biasa, teman-teman yang lain baru dating dan beberapa tak peduli hanya melempar senyum saja.
Bobi masuk ke dalam kamarnya.
“apa?” katanya.
“kamu kenapa?” Tito bertanya dengan lunak.
“gakpapa.” Bobi menjawab.
“berceritalah, taka da yang bisa membantu masalahmu kalau kamu tak cerita.” Kata Tito meyakinkan.
“aku butuh makan.” Jawab Bobi.
“goblok, udah gede harusnya bisa urus diri sendiri. Kalau lapar ya makan.” Kata Tito mulai dengan nada sedikit meninggi.
“keluarlah, tak ada yang butuh saranmu.” Bobi kembali berbaring di ranjangnya.
“jangan lupa tutup pintunya dari luar.” Bobi memperingatkan.
“santai bro santai. Sebenarnya apa masalahmu.” Tito dengan nada peduli.
“aku cerita pun belum tentu kamu mampu menyelesaikan.”
“lantas, akan kau selesaikan sendiri? Dengan apa? Mana usahamu?”
“diamlah, berisik. Keluar!” bentak Bobi
“oke, sebaiknya kau mulai menulis surat wasiat.” Kata Tito sambil pergi berlalu.
Bobi tertegun dengan kata-kata Tito.
Ia menutup pintu dan menguncinya. Ia mengambil pena, selembar kertas dan pisau.
Ia mulai memegang pena dan menulis apa yang ada di dalam hatinya, kurang lebih isi catatannya itu adalah.
‘semester lalu semester yang mengecewakan dan aku hampir tak naik kelas dan awal semester ini jalanan tampak gepal danpa sinar, cahaya, pelita. Aku tak tahu dasar yang sebenarnya, sebuah cahaya atau kegelapan, aku telah tersesat ribuan mil jauhnya dari jalan yang lurus. dalam siang yang terik ini, awal cerita yang baru, yang lama haruslah diakhiri, seorang yang lemah yang tak mampu berdiri, sehari ini aku terbaring dan terpikir untuk menyerah tapi Indonesia akan dibawa kemana. Ah kenapa aku jadi sombong sekali berbicara tentang Indonesia, apakah ini akan menjadi surat terakhirku, Bobi namaku, akankah aku akan menyerah segampang ini?’
Bobi berdiri, membuka pintu dan pergi dengan pisau dibungkus surat yang ia tulis disembunyikan di dalam jaketnya.

0 Comments