Kita tak pernah tahu kapan dan
sejauh apa kita dibutuhkan, jadi tumbal atau memang benar-benar keinginan,
pertanyaan yang hanya untuk dijawab haha hihi saja. Aku dan pilihan terakhir
seolah menjadi pasangan di saat genting, aha apakah memang benar-benar genting?
Apakah memang benar-benar diperlukan?
Dalam
beberapa film superhero kecil dulu, eh bukan superhero sih. Film produksi Jepang itu loh yang menemani kita hari Minggu pagi sampai siang, anak 90 an pasti tahulah di Televisi mana, lah kan kamu gak pernah nonton
juga syams? Eilah iya ya, ya intinya gitu lah. Inti dari inti dari inti cerita,
itu apaan bahasamu. Bahwa senjata pamungkas selalu datang terakhir saat harapan
hampir hilang.
Perang dunia 2 pun diselesaikan saat hampir jenuh, penemuan bom atom yang merupakan sebuah eksperimen, senjata pilihan terakhir karena tak tahu lagi Paman Sam menghadapi Kaisar Jepang harus dengan apa, dikirimlah bom atom untuk dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Pilihan terakhir mungkin sebuah eksperimen?
Barangkali ya, dan barangkali memang begitu. Kembali lagi kepada aku dan pilihan
terakhir, aku kembali teringat ke masa-masa sekolah dasar dulu, tahun ketiga di sekolah dasar dan dalam sebuah perlombaan adzan tingkat sekolah
dasar yang diadakan smp di tempatku, karena tak ada yang mau dan orang yang
memiliki kemampuan lebih baik tak mau secara maksimal, akhirnya akulah yang
ditempatkan untuk pemenuhan kuota barangkali, sebuah pilihan terakhir, fyi
karena perlombaan inilah baju koko pertama, heuheu. Penting? Penting bagiku.
Hasilnya? Sebagai seorang anak baru dan relatif lebih muda dibanding yang lain,
urutan ketiga. Di tahun selanjutnya saat regu pramuka untuk pesta siaga
kekurangan orang dari kelompok putra, lagi-lagi aku menjadi pilihan terakhir untuk
dimasukkan ke dalam regu, begitulah. Hasilnya? Aku hampir diikutkan di semua
pos, hasilnya lagi? Ke 3 se kecamatan, di masa berikutnya? Ada perlombaan
khitobah, dan lagi-lagi kurangnya peminat, aku didapuk dan dilatih untuk
tampil, tak ada yang lebih baik? Belum tentu, barangkali tak ada pilihan lain.
Hasilnya? Tertunduk di tingkat kabupaten, eh bentar. Tak, aku tak tertunduk,
hanya tidak juara saja. Kegagalan bukan kesalahan, tapi menghilangkan
kesempatan untuk gagal lah lebih-lebih kesalahan itu. Di masa selanjutnya ada
mocopat, perlombaan nembang jawa, ada pilihan tetapi lagi-lagi seharusnya ada
yang lebih baik, tapi tak mau dan disengaja dalam sebuah hal yang seharusnya ia
bisa tetapi menutupinya dengan hal lain, hasilnya? Ya aku mewakili lagi sekolah
dasar ku, daan melakukan kesalahan di tingkat kabupaten, ada beberapa atau
mungkin banyak hal lagi saat aku menjadi pilihan terakhir. Sampai di tingkat
smp-sma pun begitu, saat tak ada yang mencalonkan diri, tak ada pilihan lain,
lagi-lagi aku dihadirkan untuk mengisi kekosongan itu, apakah itu ideal? Belum
tentu, teman kelasku sendiri bersuara 'apalah yang bisa dilakukannya'. Dan
lagi, sebagai sebuah pilihan terakhir.
Saat ini?
Barangkali juga begitu? Kau pilihan terakhir, tak ada lagi, apa benar sekarang
pun hanya sebagai pilihan terakhir? Entahlah, mungkin bukan aku yang seharusnya
menjawabnya.

0 Comments