Makan Hati Makan Jantung part 1


Makan Hati, Makan Jantung
Mungkin kata orang dikasih hati makan jantung. Barangkali kalau lebih rakus makan hati makan jantung kali ya.
Jadi awal tahun lalu setelah gagal menulis catatan akhir tahun dan harapan awal tahun, tulisan ini diterbitkan dengan sangat-sangat tergesa-gesa.
Cerita dimulai awal tahun ini, entah ada apa rasa-rasanya ingin menikmati sepinya Tembalang. Ke Semaranglah aku beberapa hari, dan seperti yang diduga Tembalang lengang.
Kendaraan umum masih menjadi andalan hingga sekarang, pulang dan pergi. Dari Blora hingga Purwodadi 15k, Purwodadi-Semarang 15k dan kalau beruntung bisa mendapatkan harga langsung Blora-Semarang 27k. oh iya jangan lupa dengan pajak jalan, yaitu hiburan yang selalu ada. Orang-orang membawa gitar, atau sekadar ukulele atau bahkan hanya selembar kertas meminta sumbangan. Juga jangan lupakan pedagang asongan baik minuman ataupun gorengan ataupun buku, ah seperti pasar tumpah ruah dalam bus, setidaknya sediakanlah 10% hingga 20% uang ekstra untuk ini. Khas mengganggu tapi barangkali suatu saat akan dirindukan juga. Dari Terminal ke Tembalang sekarang ada BRT (Bus Rapid Transit) Semarang. 1k untuk mahasiswa dan pelajar di hari biasa(tidak berlaku di hari Minggu dan hari libur nasional) dan 3.5k untuk umum, jauh dekat sama saja. Kayak kamu, eaaaa. Dan bersabarlah karena antre itu penting, jangan macam orang kota yang tetap ‘ndeso’ ya, hehehe. Nih makan hati udah tuh.
Seminggu di Semarang, menikmati sendunya Tembalang. Bersedih sepanjang hari langitnya, menangis tiada henti. Pulangah aku karena rumah memang memanggil. Dengan rute dan biaya yang sama. Kalau ditotal total hampir 40k. saying karena langit Semarang yang sendu membuat hati pun tak enak berangkat pagi(hanya alasan), hahaha. Berangkat sianglah dari Semarang dengan segala tetek bengeknya jalanan. Sampailah di Purwodadi dan mendapat bonus naik odong-odong besar (baca: Bus) keliling kota 2x untuk menghibur penumpang yang semakin menggerutu karena menunggu penumpang yang dibawa bus dari Semarang dan Solo. Aku hanya tersenyum-senyum saja mendengar celoteh khas untuk menyindir sopir dan kenek bus. Telat tak dapat dihindari, sampai Pos Gagaan(tempat terakhir adanya transportasi umum) telah malam, perut lapar dan lelah. Ohoho. Btw yang lelah badan. Di sini aku berpikir bahwa akan baik jika ojek sajalah, terlalu merepotkan untuk dijemput.
Part 1 selesai ya, sampai di sini karena waktu tak memungkinkan untuk dilanjutkan.

0 Comments