“Kalau sekarang, siapa yang pantas kita
sebut Kartini pak?” Tanya Kartono pada bapaknya di bawah terik matahari siang
yang panas.
“apa yang di Jakarta sana pak? Yang di
gedung Senayan itu?” tanyanya menggebu gebu.
“atau mereka-mereka yang istri orang kaya itu
pak?” semakin tak sabar dengan jawaban bapaknya.
“Kartini, semua yang memperjuangkan apa
yang pantas diperjuangkan patutu dianggap Karini.”
“karena itu kartini dikenal”
“siapa yang pantas sekarang pak?”
“yang bersuara tanpa takut le[1]”
“iya siapa sekarang pak?”
“untuk kita, yang memperjuangkan suara
petani le.”
“memperjuangkan petani? Untuk apa petani
diperjuangkan pak? Katanya kita bisa hidup sendiri, kita tanam sendiri kita
bisa makan sendiri.”
“sekarang dunia telah modern le, semua
semua sekarang butuh uang, tak terkecuali petani.”
“petani butuh memenuhi kebutuhan yang
lain pula, hp mu itu yang di rumah kan itu juga petani tak bisa buat.”
“untuk itu kita juga butuh kesejahteraan
le.”
“begitu ya pak.”
“lalu siapa jawaban dari pertanyaanku pak?”
“menurutmu siapa?”
“aku pak? Aku nggak punya pendapat pak.”
“husy, pemuda tidak boleh seperti itu,
pemuda harus memiliki suara, apalagi kau ini kan lelaki, jangan hanya
mengangguk angguk saja, kan kau tau sekarang dunia telah kejam le, dunia mulai
keras.”
0 Comments