Gembala (Sapi-Sapiku)

Hamparan rumput yang luas di kaki bukit itu menjadi tempat penggembalaan warga desa, tapi kebiasaan warga setempat menyebut bukit itu dengan gunung. Matahari terik telah sedikit condong ke barat, barangkali telah pukul 2 lebih. Aku terduduk di bawah pohon asam jawa yang rindang. Satu-satunya pohon yang ada di tengah hamparan rumput ini. Aku menggembala 3 sapi milik bapak. Dua ekor betina satu telah beranak, 4 bulan barangkali umur anaknya, orang jawa menyebut anak sapi dengan pedet. Aku menggembala berangkat bersama bapak, pukul 2 lalu aku berangkat dari rumah. Perjalanan dengan jalan kaki barangkali kutempuh selama 20 menit. Hari ini bapak tidak hanya menggembala karena sekalian mencari rumput untuk persediaan makanan sapi di kandang nanti. Jadi hanya aku yang ada di hamparan rumput yang luas ini. Menunggu 3 ekor sapi, dua indukan dan satu anaknya, sedirian. Semua terasa sunyi meskipun terang, sangat terang. Sekarang orang sudah tidak lagi menggembala sapi seperti bapak, mungkin kami adalah orang terakhir yang menggembala sapi. Kata bapak, dulu di zaman beliau kecil dia menggembala bersama teman-temannya, sangat ramai. Selain menggembala mereka juga bisa bermain sepanjang hari di hamparan rumput atau sawah yang sudah tidak ditanami. Sekarang, semuanya berbeda. Perkembangan membuatnya berbeda.

“Minum le.” katanya, aku dikagetkan suara yang membuyarkan lamunanku. Tiba-tiba seorang laki-laki tak kukenal ada di hadapanku. Laki-laki dewasa dengan baju kusut, kumal berdebu yang terlihat jelas tidak dicuci selama berbulan bulan. Jenggot tebal tak terawat, baju compang-camping, berbagai jenis botol dikalungkan di leher, kumuh tak berisi dan kurus. Aku tak tahu siapa dia, dari semua tampilannya mungkin aku tak salah jika menyebut dia orang gila. Aku takut, ragu-ragu untuk menjawab. Aku sendirian, apakah aku akan lari atau memberikan botol minumku padanya? Aku bimbang. Aku membawa botol berisi air minum kugantungkan di leherku. Dengan ragu-ragu aku memberikan botol air yang belum kuminum kepadanya.

Orang itu meraih botolku, meminumnya dengan lahap, jelas ia merasa kehausan. Tak kusangka ia minum dengan cara yang baik, duduk dulu sebelum minum, tidak menyentuhkan bibirnya pada mulut botol. Ia meletakkan botolnya, menutupnya, dan memberikan kembali padaku tanpa ucapan terima kasih. Ia pergi begitu saja. Kejadian itu seolah hanya sekejap. Aku masih termangu. Aku bergumam dalam hati. Kalau aku tidak memberikan minum tadi, apakah pantas aku merasa lebih baik dari dia yang kuanggap gila? Tapi semuanya telah berlalu.

Menunggu adalah suatu hal yang membosankan, menyebalkan. Tapi itulah yang dilakukan penggembala. Karena menggembala artinya aku tidak mengikat dengan tali sapi-sapiku itu untuk mencari makan. Sapi-sapiku kulepaskan begitu keluar dari kandang. Tali-tali yang ada di lehernya dilepaskan, sapi-sapi itu terbebas dari untaian tali di lehernya. Ia bisa bebas mencari makan seluas padang rumput di bukit itu. Aku si penggembala hanya perlu melihat dari jauh, memastikan sapi-sapiku tidak pergi terlalu jauh, tidak memakan tanaman orang lain atau hilang dari pandangan mata. Selain itu, aku hanya menunggu. Menunggu, menunggu dan menunggu.

Kini hari sudah mulai senja, matahari telah condong ke barat, warna langit telah berubah tapi bapak belum datang. Aku masih menunggunya di sini, di bawah pohon asam jawa, pohon satu-satunya di hamparan rumput bukit ini.  Aku tidak berani menggiring sapi-sapiku sendirian. Menggiring sapi-sapiku bukanlah pekerjaan yang mudah. Aku baru masuk sekolah 3 tahun yang lalu, masih terlalu kecil untuk menggiring sapi-sapiku sendirian. Ada suatu waktu terkadang sapi-sapiku enggan untuk kembali, ia masih berlari ke sana dan kemari, perutnya belum kenyang. Terkadang aku terpaksa memakai pecut dari bambu buatan bapak. Itu artinya aku memakai kekerasan kepada sapi-sapiku. Untuk menghindari itu aku harus menunggu bapak dan waktu. Jika saatnya tiba, aku akan menggiring sapi-sapiku bersama bapak untuk kembali ke kandang.

Saat sapi-sapiku telah kenyang dan waktunya telah tiba, sapi-sapiku akan pulang dengan sukarela. Mereka akan pulang dengan damai, berbaris sepanjang jalan. Masuk kandang dengan tenang.

0 Comments