Terlambat bukan berarti bodoh

Idul Adha kemarin karena hiruk pikuk tugas akhir aku memutuskan untuk tidak pulang, padahal sebenarnya ada waktu libur cukup panjang. Hari itu Sabtu-Minggu libur dan cuti bersama di hari Senin-Selasa, artinya 4 hingga 5 hari waktu libur, tapi karena alasan di atas aku enggan pulang, sedikit nyesek tentu saja. Tembalang begitu sepi karena ditinggal sebagian besar penduduknya, khususnya anak kampus. Liburan adalah momen untuk pulang, apalagi cukup panjang walaupun sebagian masih terikat dengan jadwal UAS.

Idul Adha seperti yang kita tahu ada pembagian daging kurban, itu umum di mana-mana dalam dunia Islam. Kota besar mungkin lebih rigid persoalan pembagian ini karena kemungkinan besar berkupon untuk setiap 1 bagian daging kurban yang dibagikan, dan sebagai anak kos tentu saja aku tidak mendapatkan itu. Sisi lainnya juga sebenarnya aku tidak begitu doyan, doyan dalam artian doyan bisa makan untuk masakan masakan umum, jadi sebenarnya aku tidak begitu mempermasalahkan hal-hal tersebut. Yang menjadi soal di hari itu adalah soal rasa, entahlah ada rasa sentimentil dalam memandang kondisi, keadaan dan lain-lain. Salah satunya mungkin seharusnya kakek melakukan ibadah haji di tahun ini akan tetapi beliau berpulang di bulan Ramadhan.

Anw aku menjalani hari-hari biasa karena tidak ada kegiatan kampus, you know bangun mandi makan, di depan laptop, dll. Senin hari itu (Minggu Idul Adha) tiba-tiba handphone ku berdering, nomor ibu tertulis di handphoneku. oh ada apa, kupikir. singkat kata, ibu berbicara di area kosku dan bapak bicara di sebelah mana kosku, dan ditunggu di Masjid Polines(dulu aku pernah beberapa kali bersama bapak di kawasan kampus karena banyak urusan). Aku menjemput di Masjid Polines untuk menunjukkan arah ke kosku. 

Ah, seperti tahun yang sudah-sudah, Bapak dan Ibu membawakan daging kurban yang telah dimasak secara khusus yang aku bisa makan. Bapak Ibu membawa dua bagian, satu untukku dan satu untuk abang dan istrinya. Kenangan lama terulang lagi, seingatku sudah lebih dari sekali Bapak dan Ibu ke Semarang untuk membawakan daging kurban yang telah di masak.

Percakapan-percakapan mengalir seperti biasanya, aku cukup bisa mengobrol denga orang tuaku. Sampai pada satu titik di mana "Tidak apa-apa, terlambat bukan berarti bodoh"(diartikan secara bebas dari bahasa asli). Kata-kata bapak yang sangat sederhana tapi sangat bermakna mendalam bagiku, saat itu mengingat keadaanku yang berada di semester terakhir dan diujung tanduk. Aku harus lulus semester yang tersisa, ancaman Drop Out(DO) ada di depan mata.

Sejujurnya kata-kata itu sungguh sungguh sangat bermakna, bagiku itu sangat mendalam secara pribadi. Walaupun bukan berarti pembenaran mengenai tindakan-tindakan yang sebelumnya dilakukan dan lain-lain. Ada perasaan aku dimaafkan, hal yang langka kulakukan untuk diriku sendiri.

0 Comments