Politik Wisnuwardhana vs Politik Kartanegara

 

Tulisan ini sebagian besar bersumber dari buku "Tafsir Sejarah Nagara Kretagama" karya Prof. Slamet Muljana yang ada di atas, tapi tulisan ini bukan sepenuhnya isi buku yang ada di atas tersebut.
Jawa sudah memiliki sejarah yang panjang, pembicaraan kali ini adalah sejarah Jawa pada masa klasik. Lebih tepatnya pada masa Singhasari-Majapahit. Seperti yang sama-sama kita tahu, sejarah kebesaran Majapahit masih bisa dibahas sampai dengan sekarang, dan kiranya masa itu dapat dbuktikan secara ilmiah oleh para ilmuan dan bukan hanya cerita isapan jempol belaka.
Kita awali cerita ini dari masa Raja Airlangga, di mana pada masa itu(masa jauh sebelum masa Singhasari-Majapahit). Raja Airlangga memiliki dua kandidat atau dua anak yang menjadi kandidat penerusnya. Seperti yang lazim di masa itu yang mana kepemimpinan kerajaan diberikan secara turun temurun atau biasa disebut dengan dinasti. Faktor dua orang keturunan inilah, dan karena untuk menghindari konflik sesama keluarga atas kebijaksanaan Raja Airlangga dipecahklah kerajaan menjadi dua yakni Panjalu dan Janggala, dalam buku Tafsir Sejarah Negarakretagama ini Prof. Slamet Muljana menguraikan bahwa itu dapat dibuktikan benar sebagai cerita sejarah dan bukan hanya cerita mengada-ada. Keadaan ini berlangsung beberapa lama hingga salah satu kerajaan itu runtuh.
Cerita selanjutnya berpindah pada Ken Arok. Hal yang sama-sama kita tahu juga bahwa Ken Arok adalah pendiri Rajasawangsa juga pendiri kerajaan Singhasari. Dalam Serat Pararaton diceritakan kematian Ken Arok dibunuh oleh anak Tunggul Ametung yang dilahirkan oleh Ken Dedes, tapi di buku ini Prof.Slamet Muljana berpendapat lain yang kurang lebih sepeninggal Ken Arok kerajaan Singhasari waktu itu besar kemungkinan menjadi dua kerajaan kembali.
And here we go, politik Wisnuwardhana vs Politik Kartanegara.
Yang pasti sependek yang aku baca, hampir bisa dipastikan sepeninggal Ken Arok adalah keadaan penuh persaingan atau keadaan dengan penuh ketidakstabilan politik. Dalam versi yang umum tentu saja pembunuhan yang berulang dan melegendaris dengan keris Mpu Gandring(menurut Pararaton yang mana hal ini disangkal dalam buku ini).
Berdasarkan prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh Raja Kartanegara dan dianalisis oleh Prof.Slamet Muljana dalam buku ini bahwa Prabu Seminingrat(Wisnuwardhana) menyatukan kembali kerajaan Kediri dan Singhasari. Seolah-olah politik Wisnuwardhana adalah untuk mempersatukan Jawa, waktu itu Kediri-Singhasari adalah daerah kekuasaan terbesar.
Generasi setelahnya, berbeda dengan pendahulunya yakni Prabu Seminingrat yang mempersatukan kembali kerajaa Singhasari dan Kediri, Raja Kartanegara memiliki pandangan yang berbeda. Raja Kartanegara ingin mengepakkan sayapnya keluar Jawa. Pandangannya tentang Nusantara, hal ini adalah pedang bermata dua. Seperti yang kita tahu Raden Kartanegara mengirim ekspedisi Pamalayu ke Sumatera. Pedang bermata dua yang kumaksudkan adalah Jaya keluar jawa akan tetapi di dalam dirongrong oleh Negara bawahannya.
Dalam generasi setelahnya, pandangan ini dianggap diteruskan oleh masing-masing tokoh, misalnya saja pandangan Prabu Seminingrat yang menyatukan Jawa-dwipa diteruskan oleh Tribuana Tunggadewi, dan (mungkin) Hayam Wuruk. Berbeda dengan itu Gadjah Mada merupakan perpanjangan dari pandangan Raja Kartanegara dengan keNusantaraannya.
Memang seolah ada perbedaan antara Hayam Wuruk dengan Gajah Mada, walaupun pada saat adanya Gajah Mada pandangan Nusantara lebih ditonjolkan.
Aku ingin mengemukakan satu hipotesa, jangan jangan pandangan ini dipengaruhi oleh keadaan waktu itu. Keadaan pemerintahan Wisnuwardhana atau Prabu Seminingrat dipenuhi oleh gejolak peperangan, begitu juga pada saat pemerintahan Tribuana Tunggadewi misalnya ada pemberontakan Sedeng dan Keta, lalu pemberontakan Ra Kuti, pembunuhan yang dilakukan oleh Ra Tanca. Berbeda dengan keadaan itu, keadaan pemerintahan Raja Kartanegara sudah cukup stabil, begitu juga dengan pemerintahan Hayam Wuruk.

0 Comments